Oleh Ismail Fahmi
Pada tanggal 14 Juli lalu, ramai diberitakan oleh media, juga oleh akun yang terkait bencana baik di Indonesia maupun di US, tentang kejadian gempa di Halmahera. Sebanyak 971 rumah rusak, dan 6 orang meninggal dunia.
Empat hari berikutnya, 18 Juli, diberitakan oleh media dengan volume yang lebih sedikit dari pemberitaan tentang gempa di atas, bahwa seni instalasi bambu yang sudah 11 bulan terpasang di Bundaran HI, dibongkar. Instalasi ini seharusnya hanya berusia 6 bulan, sehingga dapat bonus 5 bulan.
Dua kejadian di atas, kalau dilihat dengan nalar dan rasa kemanusiaan, seharusnya kita akan lebih banyak membicarakan dan mengupayakan bantuan bagi korban gempa Halmahera.
Namun ketika kita lihat data dari Drone Emprit untuk percakapan tentang "Halmahera" dan "Bambu" (difilter dengan Anies, DKI, dibongkar, Jakarta), ternyata hasilnya sebaliknya.
MEDIA ONLINE VS MEDIA SOSIAL
Dari total percakapan di semua kanal, percakapan tentang Bambu Anies mendapat 32k mention, dan Gempa Halmahera 18k mention. Meski isu Bambu Anies ini baru muncul empat hari setelah gempa, ternyata jumlah percakapannya jauh lebih besar.
Media online masih paling proporsional dan faktual. Sebanyak 85% (3.924) mention pemberitaan adalah tentang gempa Halmahera, dan hanya 15% (708) tentang Bambu Anies. Dilihat dari tren, artikel tentang gempa Halmahera juga masih terus lebih tinggi dibanding tentang Bambu Anies.
Sedangkan media sosial khususnya Twitter dan Facebook menunjukkan tren yang sebaliknya. Di Twitter, dalam periode 13 s.d. 21 Juli, sebanyak 69% (30k) mention tentang Bambu Anies, dan 31% (13k) mention tentang gempa Halmahera. Sedangkan di Facebook sebanyak 75% mention tentang Bambu Anies dan 27% mention tentang gempa Halmahera.
Kalau dilihat dari karakter media online, mereka tidak bisa memberitakan hal yang sama berulang-ulang, kecuali ada fakta baru. Jadi lebih faktual. Sedangkan media sosial bisa mengulang-ngulang hal yang sama sesuai dengan minat netizen.
Bisa kita simpulkan bahwa bagi netizen, pembongkaran Bambu Anies ini lebih penting dibandingkan dengan gempa Halmahera. Sedangkan bagi media online, Gempa Halmahera masih lebih penting dibanding Bambu Anies.
SNA
Bagaimana volume percakaan tentang Bambu Anies bisa lebih tinggi dibandingkan dengan Gempa Halmahera?
Kita lihat peta SNA. Soal Bambu Anies, tampak ada dua cluster besar. Cluster pro Anies yang positif terhadap pembongkaran instalasi, dan kontra Anies yang negatif.
Dalam pembahasan soal gempa Halmahera, tampak hanya ada satu cluster. Yaitu cluster lembaga kebencanaan seperti BNPB dan USGS, yang diamplifikasi oleh netizen. Kalau dibandingkan dengan SNA soal Bambu Anies, netizen yang mengamplifikasi dan turut meramaikan percakapan tentang gempa ini kebanyakan dari kalangan pro Anies. Tak tampak adanya influencer dan netizen dari kalangan kontra Anies yang secara signifikan terlibat dalam percakapan.
Dulu ketika almarhum Sutopo masih aktif, percakapan tentang gempa selalu tinggi. Warganet turut merespons aktif twit-twit beliau.
Dari peta SNA kedua topik di atas, tampak bahwa netizen pro Anies masih membahas kedua kejadian. Sedangkan netizen kontra Anies lebih tertarik membahas pembongkaran instalasi bambu dibandingkan gempa Halmahera.
CYBER TROOP DAN AGENDA PUBLIK
Cyber troop adalah tim digital di media sosial yang biasanya bergerak bersama untuk membangun atau menutup sebuah isu dan opini publik. Mereka bisa mengangkat isu yang menjadi kepentingan publik secara luas, atau kepentingan tertentu terkait politik misalnya.
Apa yang bisa kita pelajari dari respons netizen yang dipimpin oleh top influencers dan buzzer masing-masing di atas adalah, sebuah isu yang menjadi kepentingan publik (seperti gempa dan korban) bisa dilupakan atau ditutup dengan isu lain yang tingkat kepentingan publiknya jauh lebih rendah, namun tingkat kepentingkan politiknya lebih tinggi.
Mengamati percakapan di media sosial, membuat kita bisa memisahkan mana isu yang seharusnya direspons dengan baik untuk kebaikan publik, dan mana isu yang sengaja diangkat karena nuansa politik yang lebih kuat.
Media online tampaknya masih bisa diandalkan menjadi salah satu pilar dalam demokrasi. Meski demikian, tetap perlu dimonitor, jika suatu saat mereka juga masuk ke ranah pembentukan opini publik untuk kepentingan sempit tertentu.
CLOSING
Seyogyanya para top influencers, buzzer, dan netizen bisa mengedepankan isu yang benar-benar jadi kepentingan publik yang luas. Ini demi kebaikan bangsa.