Oleh: Ayu Puspita
September dibuka dengan berita bahwa kurs rupiah terhadap dolar mencapai Rp 14.840,-. Angka tersebut naik hingga mencapai level Rp 15.100/dolar AS pada. Bagaimanakah pemberitaan dan perbincangan terkait isu ini media online dan media sosial? Apa yang bisa dibaca di balik perbincangan terkait pelemahan rupiah tersebut?
Setting Data
Untuk mengetahui itu, Drone Emprit memantau perkembangan pembicaraan di media online dan media sosial (Twitter) terkait isu ini selama rentang waktu dari 31 Agustus hingga 6 September 2018, dengan menggunakan kata kunci: Rupiah.
Temuan
Isu pelemahan rupiah mulai ramai dibicarakan di akhir Agustus. Ketika itu, nilai rupiah mencapai angka Rp 14.600/dolar AS. Pada 1 September mulai terjadi sedikit kenaikan perbincangan di media sosial ketika rupiah naik ke angka Rp 14.840/dolar AS. Pada 2 September, tren perbincangan sedikit menurun, untuk kemudian terus meranjak naik hingga mencapai puncaknya pada 6 September.
Puncak pemberitaan media online mengenai pelemahan rupiah terjadi pada tanggal 5 September 2018, saat Presiden dan Menteri Keuangan memberikan pernyataan mengenai kondisi finansial Indonesia, satu hari setelah rupiah menembus angka Rp 15.000. Setelah pernyataan tersebut keluar, mulai terjadi sedikit penurunan pemberitaan di media online.
Topik perbincangan yang mendominasi di Twitter selama rentang waktu pemantauan berisi imbauan untuk lebih memahami alasan di balik meningginya nilai tukar rupiah terhadap dolar dan mengapa kondisi kali ini tidak seburuk masa Krisis Moneter 1998. Akun milik @Je_Ly menjadi akun yang paling banyak mendapat retweet. Konten dari beberapa akun yang paling banyak di-retweet dapat dilihat sebagai berikut:
“Guys… kita simak ini dulu yuk… Rame banget di luar ttg kenaikan US$ thd IDR – yang nadanya sebagian besar sinis. Kita belajar sama2 yah. Bagaimana tindakan pemerintah. Presiden @jokowi & ibu Sri Mulyani itu sdh bekerja keras u’ mempertahankan rupiah tak makin terpuruk.” – https://t.co/5lMaZ1FmBP - @Je_Ly, 3 September 2018, 15:27 WIB dengan menyertakan potongan video penjelasan dalam utasan perbincangan (4.985 retweet)
“Anak2 eks HTI emang lucu-lucu. Rupiah anjlok, mereka bilang solusinya khilafah ð Apa mrk sangka di masa khilafah jaman old itu gak ada krisis ekonomi? Di masa khilafah semuanya makmur? Mimpiii! Saya kasih dua fakta saja yah. Simak yuk ð.” - @na_dirs, 2 September 2018, 20:12 WIB (3.397 retweet)
“Membandingkan krisis 1998 dengan 2018 bodoh namanya 1998 Rupiah terjun bebas 600% (2.500 ke 15.000) Sukubunga 45% Inflasi 77% 2018 Rupiah anjlog 10% Sukubunga 5.5% Inflasi 3.5% Lain kali jika ingin membodohi rakyat, jangan pula jadi bodoh. cari perbandingan lebih masuk akal.” - @RustamIbrahim, 5 September 2018, 06:26 WIB (2.974 retweet)
Meski tweet yang paling banyak di-retweet sebagian besar merupakan tweets dengan narasi membela pemerintah, ada juga tweets dengan kontra-narasi yang banyak disebarkan oleh warganet. Tweets tersebut seringnya datang dari akun seorang ekonom, walau ada juga yang datang dari akun influencer seperti @maspiyuuu.
“#Indonesian President Joko Widodo said that external factors were behind the #rupiah's fall to 20-year lows. What nonsense. If the US & IMF hadn’t plotted to overthrow Suharto 20 yrs ago, Indonesia would have a currency board & a sound rupiah.” - @steve_hanke, 5 September 2018, 20:13 WIB, dengan menyertakan tautan artikel dari reuters. (1.386 retweet)
“Rupiah Falls to Asian Crisis Low as Emerging Market Pain Spreads.. sudah dibahas Rizal Ramli, sejak akhir tahun 2017, tentang bahaya peningkatan defisit current accounts. Mentri2 ekonomi @jokowi sibuk bantah-membantah bahwa âsemua aman terkendaliâ https://t.co/jcBgmghu3v” - @RamliRizal, 31 Agustus 2018, 12:37 WIB (1.147 retweet)
“Kambing Hitam Melemahnya Rupiah di Era Rezim Jokowi: - Karena Krisis Turki - Krisis Argentina - Mata Uang China - Korut - The Fed - Trump NANTI KALAU Rupiah Tembus Rp 15 Ribu/Dolar Bisa-bisa Karena Salah Habib Rizieqhttps://t.co/9qO1Orb7Ov https://t.co/ryK4pFmtkW” - @maspiyuuu, 1 September 2018, 06:30 WIB (1.067 retweet)
Dari hashtags, #2019GantiPresiden masih terlihat mendominasi dalam perbincangan terkait melemahnya rupiah. Namun, muncul juga hashtag baru: #RupiahLongsorJokowiLengser. Hestek ini ikut menjadi salah satu hashtag yang paling sering dipakai pada 4 September 2018.
Satu hari setelahnya, sebuah hashtag baru juga ikut muncul: #DukungRupiahDukungNKRI dan menjadi salah satu hashtag yang dipakai untuk membahas masalah topik melemahnya rupiah, yaitu Tren hashtag tersebut muncul bersamaan dengan munculnya penjelasan dari pemerintah terkait kondisi finansial Indonesia. Percakapan yang menggunakan #RupiahLongsorJokowiLengser sebagian besar menuntut solusi dan penjelasan dari pemerintah terkait melonjaknya nilai tukar rupiah, sementara #DukungRupiahDukungNKRI lebih banyak menyebarkan imbauan terkait cara-cara yang dapat dilakukan warga negara untuk membantu nilai tukar rupiah.
Untuk memahami pola interaksi antara kubu pro dan kontra, pembacaan SNA akan dilakukan sesuai dengan waktu-waktu puncak perbincangan di media sosial. Dalam rentang waktu tanggal 31 Agustus - 4 September 2018, pola SNA hanya berpusat di satu kluster yang didominasi oleh akun-akun pihak oposisi, seperti RMOL dan @ChakKum. Artinya, isu pelemahan rupiah lebih banyak diperbincangkan oleh akun-akun yang berafiliasi dengan kubu oposisi. Sementara itu, terdapat satu kluster lagi yang membicarakan mengenai hadiah para peraih medali Asian Games.
Dua hari kemudian, setelah muncul kedua hashtags baru yang telah disebutkan sebelumnya, pola SNA berubah membentuk dua kluster yang berbeda. Kluster oposisi banyak berbicara menggunakan #2019GantiPresiden dan #RupiahLongsorJokowiLengser. Sementara itu muncul pula satu kluster baru yang banyak menggunakan #DukungRupiahDukungNKRI. Meski demikian, kluster oposisi terlihat lebih besar dibandingkan dengan kluster pro petahana yang terkesan acak dan tak memiliki key opinion leader yang menonjol. Hal ini menunjukkan kubu oposisi lebih aktif berbincang dan membahas isu pelemahan rupiah.
Analisis
Dari data di atas, isu rupiah telah menjadi isu yang dibahas baik oleh kubu oposisi maupun pro-petahana. Ada argumen untuk mendukung dan mengkritik pemerintah terkait isu melemahnya rupiah dilakukan dalam bentuk adu hashtag untuk menyatakan pendapat kubu masing-masing. Kubu oposisi banyak menggunakan hashtag #RupiahLongsorJokowiLengser, sedangkan kubu pro-petahana dengan berbagai penjelasan memunculkan hashtag #DukungRupiahDukungNKRI setelah hestek kubu opisisi tersebut munucul di media sosial (Twitter).
Kubu oposisi lebih banyak berbincang dengan menggunakan hashtag, sedangkan kubu pro-petahana awalnya terlihat lebih gemar melakukan retweet dan menyebarkan informasi. Namun, setelah penggunaan hashtag kelompok oposisi mendominasi perbincangan, kelompok pro-petahana mulai menggunakan strategi yang sama untuk melakukan kontranarasi. Adu tagar pun terjadi, menguat saat nilai rupiah melemah.
Di balik adu tagar terrsebut, narasi bernada ungkapan negatif tampaknya masih menjadi narasi andalan. Strategi ini dilakukan baik oleh kubu oposisi maupun pro-petahana. Kubu pro-petahana, meskipun menggunakan hashtag yang memiliki nada optimisme: #DukungRupiahDukungNKRI, tetapi tweet yang banyak disebarkan justru memiliki kata-kata bernada negatif, seperti “membodohi” atau “mimpiii!”.
“Membandingkan krisis 1998 dengan 2018 bodoh namanya 1998 Rupiah terjun bebas 600% (2.500 ke 15.000) Sukubunga 45% Inflasi 77% 2018 Rupiah anjlog 10% Sukubunga 5.5% Inflasi 3.5% Lain kali jika ingin membodohi rakyat, jangan pula jadi bodoh. cari perbandingan lebih masuk akal.” - @RustamIbrahim, 5 September 2018, 06:26 WIB
Setali tiga uang, strategi yang sama juga masih digunakan oleh pihak oposisi. Salah satu tweet oposisi yang paling banyak dibagikan masih menggunakan kata-kata bernada negatif, seperti “kambing hitam” atau “berbantah-bantah”.
“Kambing Hitam Melemahnya Rupiah di Era Rezim Jokowi: - Karena Krisis Turki - Krisis Argentina - Mata Uang China - Korut - The Fed - Trump NANTI KALAU Rupiah Tembus Rp 15 Ribu/Dolar Bisa-bisa Karena Salah Habib Rizieqhttps://t.co/9qO1Orb7Ov https://t.co/ryK4pFmtkW” - @maspiyuuu, 1 September 2018, 06:30 WIB
Ungkapan-ungkapan atau diksi-diksi yang bernada negatif itu, meminjam istilah Teresa Amabile dalam sebuah penelitiannya Brilliant but Cruel, tentu bisa terkesan sebagai hypercriticism bias. Di mana komentar bernada negatif atau menyindir kerap kali justru dianggap sebagai komentar intelektual. Ini terjadi karena adanya asosiasi antara ucapan sindiran dan bernada negatif dengan perilaku berani bertindak di luar arus pemikiran utama, yang menunjukkan anggapan seseorang mampu berpikir di luar paham kerumunan (common opinion).
Di sisi lain, hypercriticism bias ini juga mengakibatkan timbulnya sikap merendahkan pada orang-orang yang menjadi subjek kritik. Hal ini terlihat pula pada isu pelemahan rupiah, dengan banyak digunakannya kalimat-kalimat merendahkan kelompok lawan. Sikap meremehkan orang lain yang tidak sekelompok dapat memperkuat adanya bias kelompok dan menghalangi jalannya dialog antarkelompok yang dapat menghasilkan jalan keluar.
Penutup
Dalam setiap pembahasan isu sudah pasti terdapat adanya narasi-narasi pendukung serta penyanggahnya.Hal itu merupakan hal yang wajar dan dengan adanya narasi yang berbeda, itu juga dapat membantu masyarakat mendapatkan sudut pandang berbeda. Namun, masih disayangkan, upaya pemberian narasi serta kontranarasi di balik adu tagar dalam isu melemahnya rupiah masih diwarnai oleh adanya ungkapan-ungkapan yang justru memperuncing gesekan di antara kedua kubu serta memperkuat bias kelompok. Hal ini seharusnya bukanlah arah yang diinginkan ketika rupiah berada dalam kondisi melemah.