Analisis Framing Media: Pelantikan dan Gebrakan Awal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Drone Emprit Notes #1 - Senin, 15 September 2025

Analisis ini mengkaji pembingkaian media (framing) terhadap pelantikan dan kebijakan awal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, terutama terkait kebijakan injeksi likuiditas Rp200 triliun dan kontroversi publik yang menyertainya. Dengan mengintegrasikan kerangka analisis framing Robert Entman (1993) dan kategorisasi isu-aktor Murray Edelman (1993), penelitian kualitatif ini membedah data dari berbagai platform yang mencakup berita online, media sosial (Twitter, Facebook, TikTok), dan YouTube untuk mengidentifikasi pola narasi yang dominan dan bersaing.

Hasil analisis menunjukkan tidak adanya narasi tunggal, melainkan fragmentasi framing yang tajam berdasarkan jenis dan platform media. Media arus utama dan ekonomi cenderung membingkai isu sebagai tantangan teknokratis (Opportunity with Threat), fokus pada potensi pertumbuhan dan risiko kebijakan. Sebaliknya, media kritis/alternatif membingkainya sebagai ancaman terhadap keadilan sosial (Threat), memposisikan Purbaya sebagai Villain yang berpihak pada konglomerat. Polarisasi paling ekstrem terjadi di media sosial: TikTok secara dominan membangun citra Purbaya sebagai Hero yang tegas dan solutif, sementara Twitter menonjolkan isu moral dan personal, membingkainya sebagai Villain yang arogan dan menciptakan Crisis kepercayaan.

Implikasi dari fragmentasi ini signifikan: pembingkaian yang terpolarisasi ini berisiko menyederhanakan isu kebijakan fiskal yang kompleks menjadi pertarungan citra personal, mengikis evaluasi publik yang berbasis kinerja, dan menciptakan 'gelembung realitas' (reality bubbles) yang menghambat dialog publik yang konstruktif. Pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap aktor dan kebijakan ekonomi menjadi rentan terhadap narasi emosional yang dominan di platform masing-masing, bukan pada analisis substantif.

Langkah analisis...

Pelantikan dan Gebrakan Awal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Langkah 1: Identifikasi Isu Sentral. Analisis dimulai dengan mengidentifikasi peristiwa inti yang menjadi fokus pemberitaan, yaitu pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa, yang segera diikuti oleh kebijakan kontroversial penyuntikan likuiditas sebesar Rp200 triliun ke bank Himbara, serta beberapa pernyataan publik yang memicu perdebatan.

Langkah 2: Penerapan Kerangka Entman. Setiap pemberitaan dianalisis melalui empat fungsi framing Entman: Problem Definition (bagaimana masalah didefinisikan), Causal Interpretation (siapa/apa penyebabnya), Moral Evaluation (penilaian baik/buruk), dan Treatment Recommendation (solusi yang diusulkan).

Langkah 3: Penerapan Kategorisasi Edelman. Isu dan aktor kemudian dikategorikan menggunakan lensa Edelman. Isu diklasifikasikan sebagai Crisis, Opportunity, Threat, atau Routine. Sementara itu, aktor utama (Purbaya, Sri Mulyani, publik) diposisikan sebagai Hero, Villain, Victim, atau Beneficiary.

Langkah 4: Agregasi dan Sintesis. Data dari berbagai sumber (media online, Twitter, Facebook, TikTok) diagregasi untuk mengidentifikasi pola framing yang dominan, variasi antar platform, dan bagaimana narasi-narasi ini berinteraksi.

Langkah 5: Analisis Implikasi. Langkah terakhir adalah menganalisis dampak dari framing yang berbeda-beda ini terhadap pemahaman dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi dan aktor politik yang terlibat.

Tabel hasil analisis Entman & Edelman...

Analisis Naratif: Pola Framing Dominan, Variasi, dan Konsekuensinya

Dari data yang disajikan, terlihat jelas adanya fragmentasi narasi yang tajam mengenai Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Tidak ada satu bingkai tunggal yang mendominasi, melainkan beberapa narasi yang saling bersaing, seringkali ditentukan oleh jenis dan platform media.

1. Problem Definition: Pertarungan Antara Narasi Ekonomi, Politik, dan Moral

Bingkai Ekonomi (Dominan di Media Arus Utama)


Media seperti Antara News, http://Kompas.com (Money),dan http://Bisnis.com secara konsisten mendefinisikan isu ini sebagai persoalan teknokratis-ekonomi. Inti masalahnya adalah bagaimana kebijakan "gebrakan" Purbaya, terutama injeksi likuiditas Rp200 triliun, dapat diimplementasikan secara efektif untuk mendorong pertumbuhan tanpa menciptakan risiko sistemik. Judul seperti "Likuiditas deras era Purbaya, tantangan besar sektor riil menanti" (Antara News) membingkai kebijakan ini bukan sebagai kemenangan atau kekalahan, melainkan sebagai sebuah tantangan kompleks yang memerlukan kehati- hatian.

Bingkai Politik (Tersirat di Banyak Media)

Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya dibingkai sebagai sebuah pergeseran paradigma politik-ekonomi. Media seperti http://compasbmr.com menggambarkannya sebagai "sinyal kuat datangnya era baru" di bawah Presiden Prabowo, yang memilih "jalur lebih agresif". Ini mendefinisikan masalah sebagai pertarungan antara filosofi fiskal konservatif (era Sri Mulyani) melawan filosofi ekspansif dan berisiko (era Purbaya).

Bingkai Moral & Sosial (Dominan di Media Sosial)

Di platform seperti Twitter dan Facebook, isu ini sering kali direduksi menjadi masalah moralitas dan karakter. Pernyataan awal Purbaya tentang "suara sebagian kecil rakyat" dan kontroversi perilaku putranya mendefinisikan masalah sebagai arogansi elite yang terputus dari realitas publik. Cuitan dari akun seperti tanyakanrl menjadi viral bukan karena analisis kebijakan, tetapi karena menyoroti kesenjangan moral antara pejabat dan rakyat.

Causal interpretation...

2. Causal Interpretation: Purbaya sebagai Agen Perubahan vs. Produk Sistemik

Purbaya sebagai Penyebab Utama


Hampir semua media menempatkan Purbaya sebagai penyebab utama dari dinamika yang terjadi. Gaya komunikasinya yang "koboi" dan kebijakannya yang "out of the box" dianggap sebagai pemicu utama. Media yang mendukung menggambarkannya sebagai penyebab solusi, sementara media kritis melihatnya sebagai penyebab masalah baru.

Sistem Sebelumnya sebagai Latar Belakang

Narasi pro-Purbaya sering menonjolkan "kegagalan" sistem sebelumnya sebagai justifikasi. Frasa seperti dana yang "mengendap di BI" (http://palopopos.fajar.co.id) atau sistem finansial yang "kering" (http://compasbmr.com) secara implisit menyalahkan kebijakan era Sri Mulyani yang dianggap terlalu berhati-hati. Ini menciptakan narasi di mana Purbaya hadir untuk memperbaiki "kesalahan" masa lalu.

Moral evaluation...

3. Moral Evaluation: Spektrum dari Pahlawan hingga Penjahat

Purbaya sebagai Pahlawan (Hero)


Framing ini sangat kuat di TikTok. Melalui klip-klip pendek yang diedit dengan musik dramatis, Purbaya ditampilkan sebagai figur yang cerdas, tegas, dan berani melawan kemapanan (misalnya, saat berdebat di DPR). Konten dari akun seperti viraltiktokfyp_ dan silent_majority36 membangun citra Purbaya sebagai "The New Lord" yang akan menyelamatkan ekonomi.

Purbaya sebagai Penjahat (Villain)

Framing ini muncul dari dua sumber. Pertama, dari media kritis yang menuduh kebijakannya berpihak pada konglomerat, seperti dalam judul "Rp200 T Purbaya: Stimulus Ekonomi atau Bailout Konglomerat?" (http://redaksi.duta.co). Kedua, dari media sosial yang fokus pada kontroversi personal, yang melabelinya sebagai sosok arogan dan tidak berempati.

Sri Mulyani sebagai Korban/Simbol Masa Lalu (Victim)

Dalam narasi pergantian jabatan, Sri Mulyani seringkali diposisikan sebagai korban dari perubahan politik. Liputan tentang perpisahannya yang emosional (kompascom, Facebook) membangkitkan simpati publik dan secara kontras menempatkan Purbaya sebagai "pendatang baru" yang harus membuktikan diri.

Recommendation...

4. Treatment Recommendation: Dukung, Awasi, atau Tolak

Dukungan dan Optimisme


Media yang membingkai Purbaya sebagai pahlawan secara implisit merekomendasikan agar publik memberikan dukungan penuh dan kepercayaan.

Pengawasan dan Kehati-hatian

Media arus utama merekomendasikan solusi yang lebih terukur: kebijakan perlu didukung tetapi dengan pengawasan ketat dari parlemen dan lembaga terkait (KSSK) untuk memitigasi risiko.

Penolakan dan Aksi

Media sosial dan beberapa portal berita alternatif menyuarakan rekomendasi yang lebih radikal. Pemberitaan tentang demo mahasiswa (Facebook, Youtube) yang menuntut Purbaya dicopot adalah bentuk rekomendasi tindakan represif dari masyarakat terhadap pejabat.

5. Perbandingan Antar Media: Polarisasi Antara Platform

Media Arus Utama & Ekonomi


Cenderung menyajikan isu sebagai Opportunity with Threat. Mereka fokus pada analisis kebijakan yang substantif, menimbang potensi dan risiko. Aktor diposisikan secara lebih netral.

Media Kritis/Alternatif

Cenderung membingkai isu sebagai Threat yang nyata terhadap keadilan sosial dan ekonomi. Mereka secara aktif memposisikan aktor dalam peran Villain (Purbaya, konglomerat) dan Victim (UMKM, rakyat).

TikTok

Platform ini menjadi mesin utama pembentuk citra Purbaya sebagai Hero dan kebijakannya sebagai Opportunity murni. Kompleksitas dan risiko hampir sepenuhnya dihilangkan, digantikan oleh narasi kepemimpinan yang kuat dan karismatik.

Twitter & Facebook

Berfungsi sebagai arena pertarungan narasi. Di sini, isu sering dibingkai sebagai Crisis (moral, kepercayaan), di mana berita faktual bercampur dengan opini tajam, satire, dan serangan personal. Platform ini paling efektif dalam menyebarkan framing Purbaya sebagai Villain dari sisi moral.

Dominasi dalam membentuk opini publik bersifat terfragmentasi. Untuk audiens yang peduli pada kebijakan ekonomi, media arus utama masih dominan. Namun, untuk membentuk persepsi personal dan sentimen emosional, TikTok sangat dominan dalam membangun citra positif, sementara Twitter sangat efektif dalam menyebarkan citra negatif.

Implikasi...

7. Implikasi bagi Pemahaman dan Kepercayaan Publik

Simplifikasi Isu Kompleks


Framing yang sangat terpolarisasi, terutama di media sosial, menyederhanakan isu kebijakan fiskal yang kompleks menjadi pertarungan personalitas (tegas vs. sombong) atau moralitas (pro-rakyat vs. pro-konglomerat). Hal ini menghambat pemahaman publik yang mendalam mengenai dampak nyata dari kebijakan Rp200 triliun tersebut.

Erosi Kepercayaan Berbasis Kinerja

Fokus yang berlebihan pada "blunder" komunikasi dan kontroversi keluarga dapat mengalihkan evaluasi publik dari kinerja kebijakan ke citra personal. Kepercayaan terhadap Purbaya bisa naik atau turun bukan karena keberhasilan atau kegagalan kebijakannya, melainkan karena kemampuannya mengelola citra publik.

Pembentukan "Gelembung Realitas”

Audiens yang dominan mengonsumsi konten TikTok mungkin akan melihat Purbaya sebagai pahlawan tanpa cela, sementara pengguna Twitter yang kritis akan melihatnya sebagai penjahat yang tidak kompeten. Fragmentasi ini mempersulit dialog publik yang konstruktif dan dapat memperdalam polarisasi politik di masyarakat.

Kesimpulan...

Kesimpulan Akhir

Analisis media terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunjukkan sebuah ekosistem informasi yang sangat terpolarisasi. Di satu sisi, media tradisional dan ekonomi berusaha mempertahankan bingkai analisis kebijakan yang rasional dan hati-hati, menempatkan isu sebagai tantangan teknokratis. Di sisi lain, media sosial, khususnya TikTok dan Twitter, telah menjadi medan pertempuran utama yang membingkai isu ini dalam terminologi moral dan personal yang ekstrem, antara pahlawan visioner dan penjahat arogan.

Kebijakan "gebrakan" Rp200 triliun menjadi kanvas bagi proyeksi narasi yang berbeda: sebuah peluang kebangkitan ekonomi, atau sebuah ancaman bagi keadilan sosial. Dampak jangka panjang dari framing yang terfragmentasi ini adalah potensi tergerusnya ruang untuk debat kebijakan yang substantif, digantikan oleh sentimen publik yang didasarkan pada citra dan afiliasi, yang pada akhirnya dapat memengaruhi stabilitas dan penerimaan kebijakan ekonomi nasional.

Link: https://x.com/ismailfahmi/status/1967420177827676471