Oleh: Ismail Fahmi

Ini ada pertanyaan dari abangku, Bang Arya Sinulingga di group alumni ITB.

PERTANYAAN

"Aku mau ajak Ismail Fahmi diskusi di group ITB...sebagai sesama anak ITB. Pertanyaanku apakah hoax politik akan berhenti setelah pemilu selesai? Kalau tidak, bagaimana menghadapi hoax politik ini?"

JAWABAN SINGKAT SAYA

Ok Bang Arya Sinulingga. Ini jawaban singkat saya.

Tentang hoax politik selama pilpres, saya tidak memonitor semua. Sudah ada Kominfo dan Mafindo yang mendata dan mendebunk.

Pasca pemilu, hoax politik tidak akan berhenti. Demikian juga dengan hoax-hoax lain seputar kesehatan, entertainment, dll dan juga kritikan dan masukan dari masyarakat, oposisi, dll. No way mereka akan berhenti.

Bagaimana menghadapinya?

1/ Pertama: mindset pemerintah harus diubah ketika menghadapi segala sesuatu yang tidak cocok dengannya. Mindset "kami" dan "mereka" harus dibuang jauh. Gunakan mindset "kita". Selama ada mindset "mereka yang tak pernah mengkritik pemerintah adalah kawan, dan mereka yang suka mengkritik dan bikin hoax adalah lawan," maka nonsense langkah-langkah berikut ini.

2/ Kedua: gunakan big data dan kekuatan data science yang didukung oleh para ahli di bidang masing-masing seperti politik, ekonomi, budaya, dll untuk memahami "sinyal" yang disampaikan oleh publik dalam media online dan media sosial.

3/ Ketiga: bedakan antara "noise" dan "sinyal". Sistem big data yang Abang miliki dan sangat canggih itu, harus digeber untuk mendapatkan "sinyal" dari publik.

Bukan untuk memprofil "noise", bukan untuk mendata "siapa" tokoh, influencer, dan buzzer yang harus dilaporkan ke Polisi, Bareskrim, atau untuk di-suspend akun-akun mereka.

Bukan untuk memberi label "hoax maker" atau "haters" kepada mereka yang dideteksi banyak bikin "noise".

Jika sistem Abang hanya bisa menangkap "noise" maka sistem itu harus di-upgrade atau diprogram untuk menangkap "sinyal". Sinyal adalah "aspirasi" publik, yang disampaikan di balik segala noise yang ada: kritikan, fitnah, hoax, hate speech.

Sistemnya jangan mudah baper.

4/ Keempat: setelah mendapat "sinyal" atau "aspirasi, inti pesan" yang ingin disampaikan publik, kemudian sampaikan kepada publik. Gini cara bilangnya:

"Woiiih citizen, netizen.. gue pemerintah udah nangkap apa yang loe semua maksudkan. Loe ingin ini dan itu, kan? Loe ndak puas dengan ini dan itu kan? Ok baik lah. Beri kami waktu ya, untuk membahas. We will be back soon."

Gimana cara ngomong itu ke publik?

Gampang: sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Kominfo saat ini. Kominfo bisa melaporkan "daftar hoax" secara regular setiap bulan. Kominfo bisa menangkap "noise" dan menghitungnya secara rutin.

Nah selanjutnya itu diganti. Coba yang ditangkap adalah "sinyal". Kominfo melaporkan "sinyal-sinyal" yang disampaikan oleh publik. Laporkan tiap bulan. Berapa sinyal yang disampaikan oleh publik. Diurutkan dari sinyal yang paling populer ke yang kurang populer.

Jadi, Kominfo jangan hanya dikasih tugas menangkap "noise" aja. Tak kalah penting, tolong tangkap "sinyal" dari rakyat.

5/ Kelima: lakukan analisis dengan kementerian, lembaga, atau pakar terkait untuk membahas "sinyal" dari publik. Bagaimana kebijakan saat ini, bagaimana data yang ada sekarang, dst. Lalu rumuskan apa langkah yang perlu dilakukan.

Langkah solusi mungkin bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori:

- kontra narasi: tunjukkan informasi yang benar seperti apa;
- FGD: beberapa masukan kadang berharga sehingga bisa diteruskan dan diseriusi;
- pembuktian di lapangan: ajak perwakilan publik untuk melihat kondisi di lapangan, meyakinkan apa yang terjadi;
- dll (saya kira para pakar lebih ahli dari pada saya).

6/ Keenam: sampaikan kepada publik tentang solusi dan progresnya atas "sinyal" yang mereka sampaikan sebelumnya. Untuk menyampaikan, jangan gunakan buzzer.

Big no no!

Buzzer logikanya simpel: angkat isu yang mendukung, dan redam atau alihkan isu yang negatif. Ini sangat tidak bagus buat kehidupan bangsa jika pemerintah menggunakan pendekatan ini. Ini logika "political marketing".

Jika buzzer yang diminta untuk menghadapi publik, maka yang terjadi adalah: "lingkaran setan dari noise", buzzer (pemerintah) vs buzzer (oposisi, publik).

Tapi gunakan mereka yang profesional dalam membangun "public relation", hubungan antara pemerintah dan publik secara dua arah. Bukan hubungan "political marketing" yang hanya untuk kepentingan pemerintah.

7/ Ketujuh: setelah disampaikan, program dan solusi dijalankan, monitor terus respons publik. Tentu tidak otomatis mulus. Pasti akan ada noise. Namun, seperti Abang belajar dari jurusan elektro ITB, yang namanya "noise" kalau mau diharmoniskan, tidak dengan sekali langkah langsung harmonis. Ada yang namanya masa "ripple", sinyal naik turun, makin lama makin harmonis, landai.

Jadi harus sabar, tidak baper. Karena yang akan dibangun ini adalah "trust" antara pemerintah dan publik. Trust ini diperlukan untuk membangun bangsa ini bersama-sama. Dan membangun trust ini tidak mudah.

Buzzer tidak diprogram untuk membangun trust. Tapi "memenangkan perang." Jadi, jangan lagi gunakan buzzer.

8/ Delapan: respons publik yang ditangkap dari langkah sebelumnya, kemudian diolah lagi, kembali ke langkah 3.

Demikian Bang Arya, jawaban singkat saya. Kalau mau jawaban panjang, semoga kita bisa ketemu, biar bisa lebih lengkap dan komprehensif.