Bukan Kafir, Tetapi Warga Negara

Oleh: Ismail Fahmi

Bagaimana respons warganet terhadap keputusan Munas NU yang menyatakan bahwa Non-Muslim bukan Kafir, tetapi Warga Negara?

Sejak keputusan dibacakan, tren percakapan tentang 'kafir' kemarin naik pesat, bahkan sempat jadi trending topic.

Dari peta SNA, 'kafir' terlihat jelas sentimen negatif (merah) dari cluster 02. Cluster 01 tidak banyak membicarakan, dan yang ada cenderung positif (hijau) terhadap keputusan Munas NU ini.

Top influencers tentang 'kafir' kebanyakan dari cluster 02. Tagar #Kafir dan #Katakafir banyak digunakan, bersamaan dengan tagar milik 02. Narasi yang paling  banyak di-retweet tentang 'kafir' sebagian besar dari tokoh dan influencers dari cluster 02. Seperti @haikal_hassan, @Fahrihamzah, @ustadtengkuzul, @Hilmi28, dll. Dari cluster 01 ada @sahaL_AS dan @ulil.

Interaction rate sangat tinggi sebesar 7.61 interaksi per twit. Percakapan tentang 'kafir' sangat natural dan publik banyak menyatakan kesepakatannya atas narasi yang diangkat para influencers.

Narasi yang paling banyak di-retweet yang memiliki sentimen negatif terhadap keputusan tersebut adalah:

"Gak sekalian ganti surat AlKafirun dg surat AlNonMuslim... Btw, kafir  itu menutup diri dari iman kpd Allah SWT dan menolak dari Nabi Muhammad  saw... Dan Allah sendiri yg menyebut kata/istilah itu... Alangkah hebat,  kini manusia mengintervensi Allah swt...
Ampuni kami Rab" - Haikal Hassan

Di sisi lain, narasi mendukung yang paling banyak di-retweet adalah:

"Salah satu keputusan penting dalam Munas NU di Banjar Patroman kali  ini adalah: bahwa non-Muslim dlm negara nasional seperti Indonesia,  status mereka adalah "muwathin", warga negara. Istilah "kafir dzimmi"  tak tepat dilekatkan pada mereka. Salut pada keputusan ini." - Ulil

Di antara dua cluster, akun @cholilnafis menjadi juru tengah atau information arbitrage. Bisa menjadi jembatan bagi kedua kubu. Narasi yang diangkat dan disukai kedua cluster adalah:

"dlm kontek  negara Indonesia memang tak relevan menyebut kafir, baik dzimmi apalagi  harby ya. dan itu sdh selesai krn Indonesia bukan negara Islam. Tapi  kontek agama khususnya aqidah dan syariah, maka selamanya tetap ada  sebutan kafir. Tapi kita tak boleh memanggilnya, hai kaafir" -  Cholilnafis

Sebetulnya banyak keputusan lain yang bagus, seperti haramnya MLM, soal sampah, energi terbarukan, industri 4.0, Fintech.  Namun publik salah fokus oleh poin keputusan terkait kata "kafir" ini.

Mengingat sekarang intensitas politik meningkat menjelang pilpres, akankah soal "kafir" ini bisa berdampak pada aspek elektoral? Misal menjadi alasan untuk tidak mendukung paslon yang didukung NU? Musti diwaspadai atau diantisipasi oleh 01 kemungkinan ini.