Oleh: Ismail Fahmi
Kemaren Tempo dan Kumparan sama-sama wawancara saya soal "golput". Padahal mereka ndak janjian, tapi kok bisa isu yang akan diangkat untuk laporan khusus Senin depan topiknya sama.
Ada dua momen dimana percakapan tentang golput ini meningkat sangat tinggi di media sosial. Pertama, pasca penetapan KMA sebagai cawapres dari kubu 01. Kedua, pasca debat pertama.
Gelombang percakapan golput pertama terjadi di kubu 01, setelah mereka mengatahui yang ditetapkan sebagai cawapres adalah KMA, bukan MMD. Kekecewaan tampak terjadi user yang berada di luar cluster inti 01, tetapi memiliki relasi yang kuat ke cluster ini.
Hal ini tampak dalam peta SNA pasca penentuan cawapres. Ada dua layer user dalam cluster 01. Cluster 02 juga membicarakan soal golput, tetapi tidak besar, dan lebih banyak memberi komentar atas tingginya percakapan golput pada lawannya.
Gelombang kedua terjadi pasca debat pertama. Dimulai pada malam debat, trend percakapan tentang golput naik terus. Puncak tertinggi tanggal 21 Januari, dan trend baru turun meski masih tetap tinggi.
Beberapa isu yang mendorong percakapan golput ini terutama tentang debat, rencana pembebasan ABB, dan kecurigaan kampanye 10 Dildo itu disetting oleh pihak tertentu agar 01 banyak yang golput. Dan surat dari Ahok banyak digunakan oleh mereka yang anti golput untuk mengingatkan Ahoker yang kecewa, agar tidak golput.
Dari peta SNA, tingginya percakapan golput ini terjadi pada cluster 01. Di antara mereka ada yang mengajak supaya tidak golput. Diskusi dan debat terjadi cukup panas di dalam cluster ini.
Mereka yang ingin golput, mendapat dukungan dari influencer di luar 01 yang menunjukkan kegalauan antara tidak mau memilih 01, tetapi juga ogah pilih 02. Tak jauh dari mereka, ada suara yang terang-terangan mengajak golput, dan menyampaikan bahwa golput adalah pilihan yang tidak melanggar.
Bagaimana dengan cluster 02 pasca debat? Mereka tampak tak terpengaruh oleh isu golput. Pemilihnya solid, dan percakapan tentang golput yang tak telalu tinggi di cluster ini lebih banyak menyoroti atau mengomentari isu golput di kubu lawannya.
Jadi, apakah pada pilpres kali ini yang akan golput lebih tinggi jumlahnya dibanding pada pilpres 2014? Dan siapa yang diuntungkan dari makin banyaknya perakapan tentang golput ini?