Oleh: Ismail Fahmi
SKP
Mulai 17 Januari 2018 SKP atau Surat Keterangan Penelitian akan diwajibkan untuk semua penelitian di negeri ini kecuali untuk TA, tesis, disertasi dan penelitian yang didanai APBN. Jadi jika Drone Emprit ingin membuat penelitian dengan mengikuti kaidah ilmiah sendiri dan menggunakan dana swadaya untuk diterbitkan ke Jurnal Scopus, penelitian tersebut akan diminta untuk disertakan SKP-nya.
Alasannya, pemerintah khawatir ada dampak negatif dari suatu penelitian. Alasan yang lemah. Lalu siapa yang menentukan apakah penelitian punya dampak negatif? Sudah pasti gubernur atau bupati, karena mereka yang mengeluarkan izin.
Tanpa aturan di atas, istri saya ingin mengadakan penelitian untuk tesisnya saja butuh berbulan-bulan untuk mendapatkan izin (ethic clearance). Padahal izin tersebut hanya izin di lingkungan kesehatan saja, belum atas izin Gubernur ato Bupati.
Paper Indonesia Jeblok
Indonesia sudah menyedihkan dalam hal jumlah paper ilmiah internasional. Kalah jauh dibanding Malaysia. Iklim penelitian sangat kurang mendukung. Lalu datang pernyataan bahwa izin penelitian akan diatur oleh Bupati, yang kemungkinan tidak pernah menerbitkan penelitian ke jurnal ilmiah internasional. Apa paham mereka? Apa, sih, yang ada dalam pikiran bapak-ibu yang ada di atas sana yang membuat aturan ini?
Alasan
Ini dari The JakartaPost:
“Widodo Sigit Pudjianto, the Home Ministry's legal bureau chief, defended the new regulation as a means to simplify the work of researchers in Indonesia, saying the SKP issuance would ensure the country reaped the benefits of the research.
"Topics that could divide society, such as 'should the country change its basis from Pancasila to something like the HTI wanted’ are clearly prohibited," Widodo said Tuesday, referring to the banned radical Islamic group Hizbut Tahrir Indonesia.”
Kalau untuk simplifikasi proses izin penelitian dari yang tadinya tidak efisien sekarang jadi lebih sederhana, cepat dan efisien, tentu itu merupakan berita bagus bagi dunia riset. Tapi kalau kemudian masuk ke ranah topik seperti di atas, hal ini tentu mengkhawatirkan.
Memangnya kenapa kalau ada penelitian tentang HTI dan aspirasi untuk mengubah Pancasila di dunia akademis? Bukankah kalau hasilnya bagus, misal 90% responden ingin mengubah Pancasila, ‘kan bisa disidang dan dipertanyakan metodologinya, samplenya, dan lain-lain. Kalau sampelnya hanya di kalangan anggota HTI sendiri, wajar jika hasilnya 100% ingin mengubah, asal judul dan cakupan penelitiannya dicantumkan hanya memuat kalangan tersebut, bukan mewakili seluruh publik Indonesia.
Yang Membuat Aturan
Dari CNN Indonesia:
“Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Soedarmo mengaku tidak melibatkan banyak pihak khususnya peneliti dalam merancang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian (SKP).”
Permendagri tersebut dibuat untuk mengatur tentang penerbitan izin bagi peneliti.
"Memang kami tidak melibatkan peneliti. Kami hanya melibatkan kementerian dan lembaga terkait," tutur Soedarmo di kantor Kemendagri, Jakarta, Selasa (6/2).
Soedarmo menjelaskan, perancangan permendagri itu hanya melibatkan kementerian dan lembaga terkait, di antaranya Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis TNI, serta Universitas Indonesia.
"Jadi itu kekurangan dalam membuat Permendagri ini," ucap Soedarmo.”
Dibatalkan
Untungnya, usia aturan ini hanya kurang dari sebulan. Setelah aturan ini diprotes, segera aturan tersebut dibatalkan dan FGD dengan peneliti direncanakan. Ini negara atau mainan?