Oleh: Ismail Fahmi
Sedikit sharing tentang pengalaman dulu waktu anak-anak saya sekolah SD dan SMP di Belanda. Jadi sempat mengalami masa harus mencari SMP yang cocok buat mereka.
Pertama yang perlu diketahui soal model pendidikan di Belanda, secara singkat, adalah "cukup kompleks" menurut saya. Tidak sesimple di Indonesia: TK->SD->SMP->SMA->UNIV. Di Belanda, setelah SD, level SMP dan SMA jadi satu, namun tipe sekolahnya berbeda-beda: VWO, HAVO, VMBO. Lalu bisa ke Univ, Poltek, atau Vokasi.
VWO ini untuk jalur ke universitas dan riset, biasanya buat yang nilainya tinggi, tapi kalau ternyata ndakmampu, harus turun nyeberang ke HAVO.
HAVO juga bisa ke universitas level Poltek, tapi kalau ternyata pinteranaknya, bisa nyeberang ke VWO agar nantinya bisa ke universitas buat riset.
Nah, buat yang ndak terlalu nyandak kemampuannya untuk ke universitas atau poltek, pilihannya adalah ke VMBO, yang bisa lanjut ke vokasi, siap kerja. VMBO kalau di Indonesia ini mungkin mirip SMK.
Sederhananya seperti itu, riilnya lebih kompleks dengan berbagai kemungkinan. Misal HAVO/VWO, VMBO/HAVO, dll.
PERTAMA: SELEKSI NILAI
Bagaimana nasib anak ditentukan apakah ke VWO, HAVO, atau VMBO? Nah di Belanda dari tahun 1970-2014 ada ujian nasional SD, namanya Cito Toets. Sejak 2015 sudah ganti dengan Eindtoets SD. Hasil dari ujian Cito Toets dan Eindtoets ini jadi salah satu masukan bagi guru SD untuk merekomendasikan si anak apakah ke VWO, HAVO, atau VMBO. Pertimbangan lain adalah dari prestasi dan kemampuan selama di SD yang diamati secara obyektif oleh guru.
Sebagai contoh, Malik anak saya ketika mau lulus SD, mendapat skor Cito toets 547 (maksimum 550). Berdasarkan hasil ujian secara nasional, nilai segitu bisa masuk VWO, dan posisinya termasuk top 43%. Kalau mau masuk HAVO/VWO, posisinya di top 10%. Kalau HAVO saja, di top 1%. Kalau masuk VMBO, posisinya top 0%, artinya tidak ada tandingannya karena anak dengan skor segitu tidak ada yang mau masuk VMBO.
Dari sekolah SD-nya, Lala dan Malik mendapat rekomendasi untuk masuk VWO. Kami carikan yang VWO Gymnasium. Biar mereka belajar bahasa Latin dan Greek. Biar keren, ntar bisa ngomong sama Asterix dan Obelix.
Jadi, nilai selama sekolah dan nilai dari ujian akhir itu sangat penting dan menentukan rekomendasi.
KEDUA: LOKASI
Berikutnya setelah rekomendasi diterima, orang tua dan siswa memilih sekolah yang tipenya sesuai rekomendasi: VWO, HAVO, VMBO. Biasanya yang deket rumah, atau sedikit lebih jauh. Di Belanda tidak umum orang tua "ngekosin" anaknya di sekolah yang jauh dari rumah.
Yang kami lakukan waktu itu adalah mensurvei sekolah-sekolah VWO Gymnasium yang tidak jauh dari rumah. Pertimbangan saya simple: cari VWO yang lokasinya berada di antara rumah dan kantor. Jadi saya bisa sambil berangkat ke kantor nganter anak dulu. Atau kalau ada urusan dengan sekolah, pagi-pagi bisa ke sekolah dulu, baru ke kantor.
Sebelum Malik masuk VWO, sebelumnya Lala sudah duluan masuk VWO, di Cygnus Gymnasium nama sekolahnya. Karena kakaknya sudah masuk, Malik dapat prioritas diterima. Jadi di Belanda ini ada jalur "keluarga": kalau ada saudara kandung yang sudah masuk, maka adiknya dapat prioritas.
Waktu Lala masuk duluan, skor Cito Toetsnya 548. Lumayan aman sehingga bisa langsung diterima. Kalau misal posisinya di batas bawah, dan ada beberapa yang nilainya sama, maka mereka akan diundi (lotere). Yang menang undian akan diterima.
PULANG KE INDONESIA
Waktu kami balik ke Indonesia, Malik saat itu masuk SMP, dan Lala masuk SMA. Cara pandang kami soal pendidikan udahterpengaruh oleh Belanda. Yaitu, pendidikan tidak boleh bikin anak stres. Kami tidak terpikir untuk memasukkan mereka ke sekolah negeri. Karena selain soal bahasa Indonesia mereka yang ndakbagus, juga karena stigma yang kebanyakan di sekolah negeri ngejar nilai.
Kami cari sekolah yang cukup tinggi aspek soft-skill-nya, tidak banyak PR, dan teman-teman mereka cukup banyak yang bisa bahasa Inggris. Sekolah SMA yang dimasukin Lala, bahkan saat itu belum punya lulusan. Lala termasuk tahun kedua. Jadi belum terbukti apakah lulusannya bisa ke perguruan tinggi yang bagus atau tidak.
Saat itu prinsip saya, melihat nilai Cito dan kemampuan mereka yang lumayan, mustinya sekolah di mana pun tidak masalah. Tidak harus di sekolah yang favorit.
Alhamdulillah Lala bisa masuk FKUI, meski bukan jalur SNMPTN maupun SBMPTN. Dan Malik selepas SMP masuk SMA Labschool. Nyoba daftar negeri ndak lolos, karena KK masih Bandung, dan kompetisi zonasi dan nilai luar propinsi yang ketat.
Nilai penting, tapi dalam pendidikan, aspek soft-skill juga penting. Jadi saya ndak pernah nanya kenapa nilai anak-anak segini-segitu. Tapi saya motivasi mereka agar di kelas 1 dan 2 banyak-banyak aktif di OSIS, ekskul, dll.
KESIMPULAN
Nilai dan prestasi anak tetap yang pertama dilihat untuk menentukan tipe sekolah. Supaya sesuai dengan kemampuan anak. Prestasi dan nilai tetap dihargai, dan menjadikan anak tetap bersemangat untuk belajar.
Kualitas sekolah di Belanda relatif sudah sama. Memang ada yang top, ada yang biasa. Namun secara umum tidak terlalu tinggi gap-nya. Memilih sekolah akhirnya otomatis orang tua akan memilih yang lebih dekat dengan rumah.
Selain nilai, coba lihat juga aspek soft-skill. Kenyataannya, di dunia kerja, aspek ini yang lebih banyak dibutuhkan.