Oleh: Ismail Fahmi
Meski ITB terdepan di antara perguruan tinggi lain di Indonesia, namun ITB masih harus mengejar ketertinggalannya dibanding perguruan tinggi lain di Asia Tenggara untuk menjadi World Class University.
Di antara 6 indikator WCU, di ITB pada tahun 2019, kegiatan akan difokuskan pada kegiatan akademik dan penelitian yang dapat meningkatkan jumlah dosen dan mahasiswa asing akan diselenggarakan melalui kolaborasi pendidikan dan penelitian, seperti double/joint degree, kelas internasional, postdoc dan lain lain.
Dan untuk mendukung itu, jelas ITB perlu punya anggota wali amanah yang memiliki reputasi internasional di bidang sains, teknologi, dan humaniora. Mereka akan membantu ITB punya pandangan dan jaringan kerjasama internasional yang luas.
Di antara 4 wakil masyarakat anggota Majelis Wali Amanah ITB yang baru dilantik bulan Mei lalu, di antaranya ada Prof. Dr. KH. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin (humaniora), Dr. (HC) Dra Nurhayati Subakat, Apt. (sains), Ir. Yani Panigoro, Achmad Zaky, ST (teknologi). Saya lihat komposisinya mewakili ketiga bidang itu keilmuan ITB.
Dan kalau kita lihat CV dari Prof Dien Syamsuddin, banyak sekali track beliau di kancah internasional.
- Chairman of Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations/ CDCC (2007–)
- Member, Strategic Alliance Russia based Islamic World (2006–)
- Member, UK-Indonesia Islamic advisory Group (2006–)
- Chairman, World Peace Forum/ WPF (2006–)
- Honorary President, World Conference on Religions for Peace/ WCRP, based in New York (2006–)
- Vice Secretary General, World Islamic People's Leadership, based in Tripoli (2005–)
- Member, World Council of World Islamic Call Society, based in Tripoli (2005–)
- President, Asian Committee on Religions for Peace/ ACRP, based in Tokyo (2004–)
- Ketua, Indonesian Committee on Religions for Peace/ IComRP (2000–)
Pendidikan S2 dan S3 beliau pun di universitas level internasional, di UCLA. Belum lagi track beliau di kancah nasional.
Saya lihat ITB harus bersyukur mendapat anggota MWA dengan track seperti ini. ITB menjadi world class university bukan hanya melulu soal teknologi. Tapi juga humaniora. Dan dengan pengalaman internasional yang luas, Prof Dien bisa berkontribusi membawa ITB maju di level internasional.
Urusan sains dan teknologi, anggota MWA lainnya sudah banyak yang mumpuni. Tak perlu semua harus di bidang yang sama ini. ITB bisa pincang dan seperti echo-chamber jika hanya bangga dengan kehebatan sains dan teknologinya.
BEDA PILIHAN POLITIK, SEBAGIAN ALUMNI ITB MENOLAK PROF DIEN
Pada hari ini, 1 Juli di Bandung, telah ditulis petisi penolakan dan tuntutan agar Prof Dien mundur dari anggota MWA ITB. Ada 3 alasan, intinya 1. Keberpihakan politik dan sepak terjang, 2. Background tidak nyambung dengan ITB, 3. Mengambat ITB jadi WCU.
Mengapa penolakan ini terkait perbedaan pilihan politik? Karena jelas dalam poin 1 disebut alasan keberpihakan politik, yang tentu berbeda dengan alumni ITB yang memotori petisi ini.
Dan di samping itu, beredar pula petisi dukungan kepada Prof Dien untuk tetap menjadi anggota MWA. Ada 3 alasan dukungan, yaitu 1. Senat sudah mempertimbangkan dengan matang, 2. ITB menjunjung kebebasan akademik, 3. Seluruh civitas bebas menyampaikan aspirasi.
Dilihat dari profil yang mendukung masing-masing petisi, tampak bahwa mereka memiliki pilihan politik yang berbeda. Kelajutan dari pilpres lalu.
KARAKTER WORLD CLASS UNIVERSITY
Sebagai sebuah WCU, ITB harus memberi kebebasan civitasnya untuk berpikir. Value yg dimiliki ITB ini lah yang bisa bikin ITB menjadi WCU, bukan satu dua individu civitas.
Jika ITB menjadi otoriter dan hanya mengizinkan satu pilihan dan keberpihakan, maka meski ada 10 Elon Musk, 100 Einstein, atau 200 Issac Newton, mereka semua akan dipetisi untuk keluar dari ITB jika memiliki pandangan berbeda. ITB akan berargumen tidak butuh orang hebat, karena sudah hebat. Nasib Galileo yang dikucilkan sampai meninggal akan terjadi di ITB karena menyampaikan pendapat yang berbeda dengan mayoritas.
Pandangan yang otoriter ini lah yang justru menghambat ITB menjadi WCU. Orang yang punya reputasi internasional luas pun dipetisi suruh mundur karena beda pandangan politik. Tidak ada karakter menjunjung kebebasan akademik. Yang ada adalah penggalangan opini massa melalui petisi.
Jika memang para alumni punya karakter world class, maka mereka akan membuka mimbar akademik. Mengajak berdebat Prof Dien dalam lingkungan ilmiah. Mendengarkan alasan Prof Dien yang mengkritik MK, dan alumni menyampaikan pendapat yang mendukung MK. Semua dalam koridor kebebasan akademik, bukan "mobokrasi".
POST-TRUTH HAS KILLED OUR LOGIC
Saya coba berpikir, memahami kenapa sebagian civitas ITB dari alumni memilih jalan petisi dari pada kebenaran ilmiah dan kebebasan akademik. Melihat profil pengusung yang homogen di masing-masing petisi, tampaknya faktor echo-chamberdan post-truth yang paling dominan sebagai jawaban.
Echo-chamber menjadikan mereka hanya mendapat satu pandangan yang sama, tidak bisa menerima informasi lain yang berbeda. Dan post-truth membuat mereka menanggalkan akal dan menempatkan perasaan suka dan tidak suka menjadi terdepan.
Dua faktor ini memang menjadi fenomena global, bukan hanya mereka saja. Internet, media sosial, algoritma jaringan sosial, membuat kedua hal itu makin kuat. Dan sulit bagi pengguna untuk membebaskan diri dari jeratan narasi yang ditawarkan.
CLOSING
Ke mana ITB akan mengarah? World class university, atau post-truth university?