Oleh Tim Drone Emprit

Stigma terhadap pasien #COVID19indonesia terus terjadi, bahkan sedari awal kasus ini diumumkan di Indonesia.  Tentu saja ini patut menjadi perhatian kita semua.  Apa dan bagaimana stigmatisasi terjadi?  Kita coba analisis, berdasarkan data dari 2-8 Juni 2020.

Temuan
Setelah bermunculan kasus penolakan penerapan protokol kesehatan dan isolasi pasien Corona, muncul pula kasus pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 oleh keluarga dan warga. Ironisnya, bila dulu jenazah pasien ditolak dimakamkan, kini jenazah ingin dimakamkan sendiri.

Analisis
Aksi ambil dan jemput paksa itu hadir dari keraguan publik terhadap institusi kesehatan maupun otoritas pemerintahan. Dugaan ke arah itu diperkuat dengan munculnya pengakuan di media massa dan media sosial. Banyak pula isu konspiratif terkait tenaga/institusi kesehatan.

Saran
Ketidakpercayaan publik tersebut harus segera diatasi secara baik-baik (persuasif) maupun secara tegas. Karena bisa menyebabkan penolakan penanganan medis. Pada akhirnya bisa berdampak pada sulitnya pengendalian virus, serta makin meluasnya penyebaran penyakit.

Matriks Isu  
Ada beberapa isu yang terkait dengan stigma terhadap pasien. Dari maladministrasi atau kecurangan RS (komersialisasi pasien—meninggal jantung diklaim #COVID19indonesia), abai terhadap pasien bukan #COVID19 (korban kecelakaan dipingpong 4 RS dan meninggal) fasilitas yang tidak layak (sehingga pasien menolak diisolasi), paranoid yang berelebihan (meninggal karena usia lanjut dikira tertular #COVID19), RS dianggap tidak mampu (sehingga pasien menolak diisolasi)  takut tertular (warga tidak tahu memakamkan jenazah pasien positif #COVID19indonesia), pasien kesepian (lari dari Karantina), juga kurang edukasi (pasien dijemput paksa keluarga dari RSUD dan merusak fasilitas)

Sebaran isu juga cukup merata terjadi di banyak tempat. Jika dilihat berdasarkan pulau, maka terjadi di Jawa (Gunung Kidul, Klaten), Sulawesi (Manado, Mamuju), Buton (Baubau), Sumatera (Bengkulu), Madura (Pamekasan), dan Ambon. Hampir semua isu diangkat oleh media online, pun media sosial. Beberapa akun yang terlihat mengangkat isu-isu di atas antaranya @jakapujakesuma1@umaralims@hmdafif@MSApunya@Kesit_@almascatie juga @blogdokter

Tren pemberitaan tentang stigmatisasi terhadap pasien #COVID19indonesia cenderung naik. Tindakan pengrusakan RS oleh keluarga PDP dan penolakan warga terhadap keberadaan RS rujukan, menjadi pendorong kenaikan pemberitaan pada 4 & 8 Juni

Di media sosial, perbincangan terpantau ramai. Beberapa isu yang cukup menjadi perhatian publik antaranya tentang komersialisasi pasien, kegeraman dokter atas stigmatisasi, keresahan setelah kuburkan jenazah positif #COVID19indonesia, juga kaburnya pasien dari karantina.

Jika kita klasifikasi dan analisis topik pembicaannya, maka terlihat:  Penolakan penguburan dengan prosedur #COVID19indonesia masih terjadi. Adapun pengucilan pada pasien atau keluarganya jauh berkurang dibanding sebelumnya. Selain itu, pengusiran pasien berkurang, berganti dengan pengusiran tim medis yang berupaya menjemput/mengisolasi pasien.

Rasa takut (tertular, dikarantina, dikucilkan) dan misinformasi masih banyak muncul sebagai penyebab stigmatisasi pasien maupun keluarganya.  Dampaknya adalah, mereka menolak penanganan medis.

Dampak PHK yang muncul di sini, bukan berupa pemecatan saja, tapi juga gangguan terhadap pekerjaan dari pasien. Positifnya, pasien juga mendapat dampak positif berupa pemberian bantuan kepada mereka.

Sekarang, kita lihat narasi yang kuat beredar  Dua narasi teratas berasal dari tenaga kesehatan (@dr_koko28 dan @drRaniSpP), suarakan pembelaan atas tuduhan medis bernuansa komersial. Sedangkan @blogdokter menyerang pelaku stigma dan bully terhadap pasien #COVID19indonesia

Akun @almascatie tonjolkan cerita humanis tentang upaya nakes mengevakuasi pasien. Adapun @ronavioleta cenderung lebih politis menyoal penetapan status hoaks di masa awal pandemi.

Siapa saja yang memengaruhi percakapan?  Ternyata, perbincangan kuat didorong oleh akun dokter (@dr_koko28@drRaniSpP dan @blogdokter). Hal ini terbilang baik, karena narasi yang mereka angkat (kemungkinan) berasal dari latar belakang keahlian dan pengalaman mereka sendiri.

Kita analisis tagar yang digunakan dalam percakapan.  Terlihat, seolah ada upaya untuk mengaitkan stigma terhadap pasien #COVID19indonesia dengan berbagai isu. Hal ini terlihat dari beragamnya tagar dalam pembicaraan. Ada yang mengangkat soal Covid19 (#COVID19, #CoronavirusFacts, @lawancovid19, dll), kedaerahan (#surabaya) kampanye kelautan (#SahabatBahari), hingga yang bernuansa politis (#BonekaPerampokRakyat).

Kita analisis emosi yg muncul dalam percakapan  Emosi fear dominan muncul dalam percakapan Ada yang takut dengan potensi penularan, takut dengan kredibilitas nakes, ada juga yang heran dengan yang terkesan tidak takut mati/sakit. Ada pula ajakan agar tidak takut #COVID19indonesia.

Emosi trust tunjukkan baik ekspresi kepercayaan pun ketidakpercayaan. Ada yang percaya pada nakes, percaya bahwa masyarakat tidak lagi percaya pada pemerintah dan Satgas #COVID19indonesia  Ada juga yang melihat perubahan perlakuan masyarakat pada jenazah PDP.

Ekspresi yang juga cukup banyak muncul adalah emosi anger. Emosi tersebut muncul dalam bentuk berbagai kemarahan kepada pemudik, warga yang tidak patuh protokol kesehatan, juga karena perilaku terduga #COVID19indonesia yang tidak kooperatif.

Kota yang paling banyak membicarakan pasien dalam konteks stigma terhadap pasien adalah juga tempat dengan kasus #COVID19indonesia terbanyak, seperti Jakarta (278 mention), Surabaya (73), dan Yogyakarta (57).

Laki-laki terlihat lebih aktif membicarakan stigma terhadap pasien #COVID19indonesia (71,83%) dibandingkan perempuan (28,17%).  Rentang usia 19-29 tahun, merupakan yang paling banyak bicarakan isu ini (49,55%), disusul rentang usia kurang dari 18 tahun (25,41%).

Analisa jaringan sosial (Social Network Analysis/SNA) menunjukkan ada beberapa klaster yang terpencar dan memiliki episentrumnya masing-masing. Ini mengindikasikan bahwa masing-masing klaster punya agenda/narasinya sendiri dan tidak saling menguatkan atau berinteraksi.

Beberapa akun yang terlihat cukup menonjol di SNA antaranya @dr_koko28@almascatie@drRaniSpP@blogdokter@tirta_hudhi

Selain itu, ada satu akun oposisi pemerintah yang menyumbang narasi politis dalam pembicaraan (@ronavioleta). Akun ini tidak terlihat berinteraksi dengan akun-akun besar lainnya yang berasal dari dokter atau media massa.

Demikian analisis kami tentang stigmatisasi terhadap pasien #COVID19indonesia   Semoga bermanfaat

END