PPDB DAN PARA PEJUANG ZONASI

Oleh: Ismail Fahmi

Dalam catatan Drone Emprit,  kemarin (18 Juni) percakapan dan pemberitaan tentang Zonasi dan PPDB ini mencapai puncaknya dengan 6.4k di Twitter saja, dan 288 artikel di media online. Tren hari ini masih tinggi.

Ada nada positif tentang kebijakan Zonasi ini. Pada umumnya yang berpandangan positif akan bilang "NIATNYA BAIK". Namun lebih banyak yang menyampaikan pandangan negatif, atau setidaknya keluhan. Pada umumnya bilang, "sekolah negeri BELUM MERATA lokasi dan kualitasnya."

Menghilangkan stigma sekolah favorit dan memeratakan akses dan kualitas. Ini tujuan dari zonasi seperti yang disampaikan oleh Kemendikbud. Untuk itu, prinsipnya ada tiga: non rivalry, non  excludable, non discrimination.

Prinsip itu benar dan harus terus dijalankan dan ditingkatkan. Agar prinsip itu bisa dijalankan, tentu ada pra kondisi yang harus dipenuhi. Dan itu adalah tanggung jawab Pemerintah untuk meningkatkan kualitas semua sekolah negeri hingga setara. Sampai siswa dan ortu berpendapat bahwa memilih sekolah manapun sama saja, karena kualitasnya sama.

Saat ini, ortu dan siswa yang harus berbesar hati, menerima ditempatkan di sekolah terdekat, meski kualitasnya belum setara dengan sekolah yang diinginkannya (favorit). Artinya siswa dan orang tua yang berjuang dulu mewujudkan prinsip di atas. Semoga kemudian diikuti oleh pemerintah dengan meningkatkan kualitas semua sekolah negeri itu.

Bersediakah orang  tua dan siswa untuk sementara menjalankan tugas pemerintah meningkatkan kualitas sekolah negeri di dekat rumahnya?

Bagaimana dengan  siswa yang jauh dari mana-mana sekolah negeri atau di zona perbatasan? Yang akhirnya mereka tidak bisa masuk ke sekolah negeri meskipun pintar? Bagaimana tujuan "membuka akses" terpenuhi bagi mereka?

Banyak pertanyaan dan pelajaran dari implementasi zonasi tahun ini.

Kalau saya pribadi, mengingat kedua anak saya pindahan setelah lama di Belanda, sulit berbahasa Indonesia saat itu, akhirnya melupakan kemungkinan masuk sekolah negeri. Akhirnya dicari sekolah yang ndak banyak ngasih PR, yang bisa bikin mereka beraktualisasi diri, belajar organisasi.