Oleh Tim Drone Emprit

Penolakan terhadap tes Covid-19 marak terjadi. Ramai di media massa pun di media sosial.  Tuduhan adanya konspirasi, stigma negatif penderita #COVID19indonesia, juga provokasi menjadi beberapa sebab penolakan tes.  Berikut analisis berdasarkan data 12 Mei -12 Juni 2020.

Temuan  
Berita penolakan tes #COVID19indonesia terpantau dinamis di media massa, terjadi di berbagai tempat dan hampir setiap hari.  Di media sosial, hanya beberapa insiden yang viral. Umumnya penolakan tes muncul dari warga di zona rawan dan dari pasar tradisional.

Analisis  
Ketidakpercayaan warga mendominasi alasan penolakan tes. Ekspresi tersebut dipicu stigma negatif #COVID19, beredarnya hoaks konspiratif kesehatan, hingga provokasi dari oknum masyarakat. Ada pula penolakan bermotif ekonomi, seperti yang terjadi di pasar Cileungsi.

Saran  
Sosialiasi dan edukasi menjadi faktor kunci untuk menghilangkan stigma serta misinformasi terkait test #COVID19indonesia. Selain itu, upaya tegas atau penegakan hukum juga perlu untuk menimbulkan efek gentar bagi provokator atau penyebar hoaks tidak bertanggung jawab.

Matriks Isu  
Penolakan tes #COVID19indonesia dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, dari pedagang pasar, takmir masjid, hingga anggota DPRD.  Intimidasi dan penolakan terhadap Nakes umumnya dilakukan secara berkelompok.

Penolakan dilakukan dengan cara beragam.  
Takmir masjid di Madura, misalnya, mengunggah sikap penolakan tersebut di media sosial dan cukup viral. Ada juga yang menghindari tes #COVID19 dengan mengungsi ke pulau terpencil, sebagaimana dilakukan sebagian warga Sorong, Papua.

Beragam alasan jadi penyebab penolakan tes, antaranya: takut hasil tes positif, takut dikarantina, takut mempengaruhi pendapatan dan lapak dagang.  Kegiatan tes di pasar dinilai akan menjauhkan pengunjung pasar. Sedang sebagian menilai, tertular #COVID19indonesia merupakan aib.

Ada pula yang merasa baik-baik saja dan kebal #COVID19. Selain itu, jamak pula ditemukan warga yang terprovokasi hoaks terkait #COVID19indonesia, seperti bahwa #COVID19 tidak ada atau #COVID19 tidak berbeda dengan flu biasa (tidak berbahaya).

Selain di Pulau Jawa, penolakan tes #COVID19indonesia juga dilakukan masyarakat di berbagai pulau di Indonesia. Di Sumatera, misalnya, kasus penolakan tes dilakukan sekelompok warga di Batam.  Sementara itu, aksi penolakan juga ramai di Sulawesi, utamanya Makassar, dll.

Beragam upaya dilakukan pihak berwenang agar publik mengikuti tes #COVID19indonesia. Edukasi, persuasi, dan sosialisasi manfaat tes terus digalakkan petugas. Bahkan, tindakan tegas dengan melibatkan aparat keamanan turut dilakukan.

Tren Pemberitaan  
Di media online, tren pemberitaan mengenai penolakan tes #COVID19indonesia terlihat tunjukkan peningkatan.   Makassar dinarasikan sebagai daerah dengan insiden penolakan terbanyak. Disusul Maluku, NTT, dan beberapa daerah di Jawa.

Pasar tradisional, yang diduga sebagai episentrum penyebaran baru #COVID19indonesia, juga diberitakan sebagai tempat maraknya insiden penolakan terjadi.

Tren Percakapan  Isu penolakan tes #COVID19indonesia terpantau tinggi di periode awal pemantauan. Perbincangan sangat ramai pada 15-19 Mei didorong penolakan tes #COVID19 oleh warga di Makassar dan Sorong.  Setelah mereda dari 20-30 Mei, isu penolakan beranjak meningkat dari 1-12 Juni, didorong berbagai aksi penolakan tes #COVID19indonesia yang dilakukan di NTT (Sikka, Adonara), Ambon (Silale), Jawa (Kediri, Cileungsi).

Top Narasi  
Dari 5 narasi teratas, dua menceritakan aksi penolakan di Makassar (@Daeng_Info) dan Pasar Cileungsi (@pawangcat).  Narasi terpopuler bicarakan tentang penolakan warga untuk dikarantina di RS (@black_valley1) karena ketidakpercayaan pada hasil tes.

Top Influencer  Isu penolakan tes #COVID19indonesia berasal dari kanal berita/daerah (@Daeng_Info dan @asumsico) dan influencer (@black_valley, @Qirani_Ayra, @chocolatosj).   Berdasarkan hal tersebut, bisa dianggap bahwa isu penolakan tes lebih banyak berkembang antar masyarakat.

Hastags  Tagar #RapidTest pada isu Penolakan Rapid Test tidak banyak. Justru, yang terlihat menonjol adalah kampanye menyambut Normal Baru (#OptimisNewNormal, #StopPolitisasiNewNormal, #TNIPolriKAwalNewNormal). Selain itu, ada juga beberapa tagar yang merujuk pada lokasi penolakan tes seperti #Kediri, #Garut, #Makassar, dll.  Analisis hastags menunjukkan perbincangan tentang penolakan cenderung sporadis.

Analisis Emosi  
Emosi Surprise mendominasi perbincangan, mayoritas tunjukkan keheranan warganet thdp perilaku penolak tes. Ada juga yg heran dengan tuduhan konspiratif sebagai alasan penolakan tersebut. Ada juga yg ungkapkan dirinya paham alasan seseorang menolak ikut tes.

Emosi yang juga banyak muncul adalah trust, yang terlihat beririsan dengan surprise, yaitu rasa heran. Publik cenderung tidak percaya bahwa masih ada orang yang meragukan tes.  Selain itu, para penolak tes dianggap lebih percaya hoaks ketimbang tes yang ilmiah.

Ekspresi berikutnya yang banyak muncul adalah fear. Manifestasi emosi ini muncul dalam berbagai bentuk percakapan. Mulai dari takut ke pasar karena pedagangnya berpotensi menularkan penyakit, butuh diyakinkan pemerintah, hingga heran dengan “keberanian” penyebar hoaks konspirasi.

SNA  
Analisis jaringan sosial (Social Network Analysis/SNA) menunjukkan banyak klaster yang tersebar. Ini mengindikasikan, masing-masing klaster mengusung narasi atau peristiwanya sendiri.

Terpencarnya narasi bisa terlihat dari beberapa peristiwa penolakan yang viral (di Makassar dan Pasar Cileungsi) yang muncul di klaster berbeda. Bahkan informasi di kanal berita, mengenai beberapa penolakan tes, seolah tidak diamplifikasi oleh klaster lainnya. Faktor lain yg turut membuat SNA kali ini terpencar-pencar adalah, tidak semua klaster di isu penolakan rapid test bicara mengenai penolakan tes semata. Ada juga yg mengusung tentang penolakan tenaga kesehatan. Atau malah mengajak masyarakat untuk ikut rapid tes massal.

Demikian analisis kami tentang penolakan tes #COVID19indonesiaSemoga bermanfaat  

END